M. Halwi Dahlan
Tulisan
ini adalah penggalan dari tulisan yang berjudul sama dan telah
diterbitkan dalam bentuk Jurnal Penelitian oleh BKSNT Bandung tahun
2002.
Penca Cimande
Penelusuran awal kelahiran ilmu silat (selanjutnya di sebut penca) Cimande di Tatar Sunda masih dilingkupi misteri. Ini terjadi karena informasi peristiwa tesbut nyaris tidak ada. Artinya informasi kepastian waktu lahirnya tidak ada, yang ada adalah informasi-informasi yang bersifat oral history yang terdiri dari berbagai versi pula.
Bahkan yang menarik adalah di kalangan warga Cimande (sebutan bagi mereka yang telah menjadi murid ataupun para penerus aliran silat ini) sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang sosok pencipta aliran penca ini. Ada yang menafsirkan bahwa sosok Ayah Kahir atau Abah Kahir atau Embah Kohir adalah seorang laki-laki (sebagaimana umumnya pengertian jawara, jagoan, pendekar dan sebagainya yang cenderung memilih laki-laki sebagai gendernya) dan ada pula yang mengisahkan beliau adalah seorang wanita yang disebut Mbah Khaer. Tetapi uniknya mereka semua menginduk kepada sang pencipta penca Cimande yang telah dimakamkan di Tanah Sereal Kabupaten Bogor. Setidaknya pada penelitian ini ada 3 versi tentang awal mula lahirnya Cimande. Adapun versi-versi tersebut sebagi berikut :
Bahkan yang menarik adalah di kalangan warga Cimande (sebutan bagi mereka yang telah menjadi murid ataupun para penerus aliran silat ini) sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang sosok pencipta aliran penca ini. Ada yang menafsirkan bahwa sosok Ayah Kahir atau Abah Kahir atau Embah Kohir adalah seorang laki-laki (sebagaimana umumnya pengertian jawara, jagoan, pendekar dan sebagainya yang cenderung memilih laki-laki sebagai gendernya) dan ada pula yang mengisahkan beliau adalah seorang wanita yang disebut Mbah Khaer. Tetapi uniknya mereka semua menginduk kepada sang pencipta penca Cimande yang telah dimakamkan di Tanah Sereal Kabupaten Bogor. Setidaknya pada penelitian ini ada 3 versi tentang awal mula lahirnya Cimande. Adapun versi-versi tersebut sebagi berikut :
Versi Gending Raspuzi (Pikiran Rakyat, 2002 : 17). Riwayat sebelum mendirikan sebuah perguruan bernama Penca Cimande, Ayah Kahir pernah tinggal dan mengajarkan ilmunya di kota Kabupaten Cianjur. Di kota ini pada tahun 1770 ia menikahi seorang wanita setempat (nama ?) dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Cianjur. Di kampung ini pula Ayah Kahir mengajarkan maenpo atau penca kepada para pemuda setempat.
Ketenarannya
sebagai guru penca menyebabkan bupati Cianjur Aria Wiratanudatar IV
atau Dalem Cikundul (1776-1813) memintanya untuk mengajarkan maenpo
kepada putera-putera bupati, pegawai kabupaten dan para petugas
keamanan. Tahun 1815, Ayah Kahir ke Bogor dan menetap di Kampung Tarikolot, Desa Cimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Di Bogor ini pula ia meninggal dunia pada tahun 1825.
Versi Ensiklopedi Sunda (2000 : 217). Abah Kohir adalah perintis dan penyebar Penca Cimande di Tatar Sunda pada abad XVIII. Beliau
dikabarkan berasal dari Kampung Talaga di Majalengka kemudian pindah
dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Kecamatan Cikalong Kulon,
Kabupaten Cianjur.
Sebelum dikenal sebagai guru silat, Abah Kohir atau Embah Kohir terkenal sebagai ahli kebatinan di kota Kabupaten Cianjur. Kepandaiannya
bermain penca diketahui melalui adu laga dengan seorang Cina yang
berasal dari Makao yang mahir beladiri Kuntao (salah satu jenis beladiri
yang berasal dari dataran Tiongkok).
Dikisahkan
bahwa pada suatu hari ada orang Cina yang melanggar ketertiban umum,
maka ia kemudian ditangkap oleh petugas Kabupaten Cianjur. Dalam penangkapan itu, orang Cina tersebut melakukan perlawanan, melecehkan petugas dan menantang adu laga dengan siapa saja. Pada waktu itu petugas keamanan kewalahan dan tidak bisa berbuat banyak.
Ayah
Kohir atau Embah Kohir kemudian diminta oleh bupati Cianjur untuk
meladeni tantangan orang Cina tersebut sekaligus menangkapnya. Ayah
Kohir menyanggupi permintaan bupati, maka dilakukanlah pertarungan di
alun-alun kabupaten disaksikan oleh bupati dan masyarakat kota Cianjur. Dalam pertarungan itu, Ayah Kohir dapat mengalahkan orang Cina tersebut dan menyerahkannya kepada bupati. Melihat keberhasilan itu, bupati kemudian meminta Ayah Kohir untuk melatih penca para petugas keamanan Kabupaten Cianjur.
Dikisahkan selanjutnya, beberapa waktu kemudian (?) di Kabupaten Bogor sedang terjadi kerusuhan (?). Bupati Bogor (?) meminta kesediaan Ayah Kohir untuk membantu memadamkan dan menumpas perusuh. Atas persetujuan bupati Cianjur, Ayah Kohir kemudian ke Bogor dan kerusuhan dapat dipadamkan. Atas keberhasilan ini beliau kemudian diminta mengajarkan penca kepada para petugas keamanan. Selama
di Bogor Ayah Kohir atau Embah Kohir bermukim di kampung Tarikolot
dekat Sungai Cimande, di sana ia mengajarkan penca kepada masyarakat
umum dan mendirikan perguruan Cimande. Perguruan kemudian diserahkan kepada keturunannya (?) dan ilmu silat ini kemudian tersebar. Ayah
Kohir kemudian pindah dari Kampung Tarikolot ke kota Kabupaten Bogor ke
suatu tempat bernama Tanah Sereal dimana akhirnya beliau meninggal
dunia di sana.
Versi Agus Suganda (wawancara tanggal 10 Juli 2002) mengungkapkan kisah penemuan jurus tersebut. Mbah Khaer (sebutan lain Ayah Kahir) pada suatu waktu di subuh hari hendak mencuci beras sekaligus berwudlu ke sebuah talang (saluran air) di sisi Sungai Cimende. Ia berbekal sebuah boboko berisi beras (wadah tempat mencuci beras) dan sebuah lampu/pelita untuk menerangi perjalannya ke talang tersebut. Sesampai di dekat talang, ia melihat suatu pemadangan aneh yang baru pertama kali dilihatnya. Di depannya sedang berlangsung pertarungan sengit 2 ekor hewan yaitu seekor harimau dengan seekor monyet. Dalam
perlihatannya bagaimanapun harimau tersebut berusaha menekan sang
monyet tetapi selalu berhasil dielakkan, demikian pula sang harimau
selalu berhasil menangkis serangan gencar sang monyet. Kedua binatang ini tidak menyadari bahwa tingkah laku mereka sedang diperhatikan dengan seksama oleh seorang manusia. Hingga akhirnya pertarungan tersebut selesai tanpa menimbulkan luka berarti pada keduanya dan mereka kabur berlainan arah. Mbah
Khaer segera mencuci berasnya dan setelah berwudlu ia cepat-cepat
kembali ke rumah karena ia teringat bahwa suaminya selalu pulang pada
pagi hari.
Dalam
kisah ini Mbah Khaer diriwayatkan sebagai seorang wanita yang mempunyai
tugas sebagaimana halnya seorang isteri yaitu mempersiapkan sarapan
bagi suaminya. Sesampai di rumah ternyata sang
suami telah menunggu dengan muka marah, dan tanpa bertanya apa-apa sang
suami langsung menyerang isterinya. Sang suami
adalah salah seorang jawara dikampung tersebut yang pekerjaannya pergi
malam pulang pagi, sering mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan sang istri adalah seorang santri dan ibu rumah tangga.
Mendapat serangan tiba-tiba dari suaminya, Mbah Khaer spontan berkelit mengikuti gerakan monyet yang dilihatnya bertarung tadi. Penasaran dengan serangannya yang gagal kembali sang suami menyerang dengan pukulan dan tendangan. Mbah Khaer sambil menggendong boboko berisi beras terus berkelit menghindari serangan suaminya tanpa sekalipun membalas meskipun selalu ada kesempatan untuk itu. Apa yang dilihatnya di talang tadi ternyata memberi ilham baginya untuk menghindar dan menangkis serangan sang suami.
Sang
suami akhirnya menghentikan serangannya karena kelelahan ditambah rasa
penasaran akan kemampuan istrinya yang dapat dengan mudah menghindari
semua serangan-serangannya. Padahal ia terkenal sebagai seorang jawara di tempat itu. Akhirnya ia mengaku takluk dan mengemukakan niat untuk mempelajari jurus-jurus tersebut kepada istrinya. Singkat cerita sang istri kemudian mengajarkan jurus-jurus tersebut dan sang suami adalah murid pertamanya.
Menurut
Agus Suganda nama murid pertama Embah Khaer adalah Ayah Kholiah yang
berarti juga adalah suaminya sendiri, nama ini terdapat dalam pertalekan
Cimande pada urutan kedua setelah nama Mbah Khaer. Dan peristiwa tersebut berlangsung di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande Kabupaten Bogor
Dari ketiga versi di atas, tidak satupun
yang memberikan informasi tentang awal mula (secara absolut) lahirnya
Penca Cimande, meskipun ketiganya mendukung fakta bahwa Cimande
dilahirkan di Kampung Tarikolot Desa Cimande Kecamatan Caringin
Kabupaten Bogor. Namun demikian pada informasi
dari versi Gending Raspuzi ada disebut angka tahun tentang perkawinan
Ayah Kahir dengan wanita asal Cianjur yaitu tahun 1770 (Abad XVIII),
kemudian Ayah Kahir pindah ke Kabupaten Bogor pada tahun 1815 dan
mendirikan perguruan di Cimande di sana dimana ia kemudian meninggal
pada tahun 1825. Ini mengisyaratkan bahwa waktu lahir Perguruan (Sunda = Paguron)
Penca Cimande antara tahun 1815 sampai 1825, sehingga dapat ditarik
suatu asumsi bahwa aliran penca Cimande ditemukan dalam kurun waktu
tersebut berdasarkan alasan bahwa sebuah karya selalu lahir dalam kurun
waktu kehidupan penciptanya.
Sumber dari versi ketiga (Agus Suganda) juga tidak menyebut angka tahun bahkan kisahnya mengarah pada Oral History (penyampaian cerita/kisah dari mulut ke mulut) yang lebih bersifat dongeng dalam periwayatannya. Namun pada versi ini dapat dilihat pola penemuan jurus-jurus Cimande dalam keadaan tidak disengaja. Dalam
teori Antropologi seperti yang dikemukakan oleh Dixon yang dikutip oleh
Prof. Harsojo (1982 : 177-178) bahwa tipe penemuan seperti di atas
disebut gejala discovery, yaitu suatu proses pra penemuan yang memenuhi 3 hal yaitu kesempatan, pengamatan, penilaian dan penghayalan. Disamping itu harus ada pula keinginan dan ada kebutuhan. Ketiga
hal dalam gejala discovery ini terbentuk dalam kisah Mbah Khaer dalam
menemukan jurus Cimande, yaitu adanya kesempatan yang tidak disengaja
melihat pertarungan seekor Harimau dengan seekor Kera. Dari pertarungan itu secara langsung (otomatis terjadi pengamatan) dimana Mbah Khaer terus memperhatikan pertarungan tersebut. Dalam
hal penilaian dan penghayalan, bahwa manusia dianugrahi memori untuk
mengingat kejadian yang berkesan baginya, ini kemudian keluar tanpa
disadari (hal pertarungan tersebut) ketika Mbah Khaer diserang oleh
suaminya, dan pada saat inilah keinginan mengelak atau menghindari
serangan dari suaminya menjadi unsur kebutuhan Mbah Khaer.
Penemuan
discovery ini juga disebut penemuan secara kebetulan, dan memang
penuturan Agus Suganda tentang kisah Cimande berlangsung secara
kebetulan, ini yang membedakannya dengan invention atau
penemuan sebagai suatu hasil usaha yang sadar (Ibid : 177), sebab dari
ketiga versi di atas tidak satupun yang mengemukakan bahwa Ayah Kahir
atau Abah Kohir atau Embah Kohir atau Mbah Khaer pernah berguru kepada
suatu perguruan silat sebelumnya. Informasi dari
Ensiklopedi Sunda bahwa Abah Kohir atau Embah Kohir sebelum dikenal
sebagai guru penca, beliau adalah seorang ahli kebatinan. Dapat
diinformasikan di sini bahwa untuk mengolah ilmu kebatinan tidak
diperlukan latihan silat, bahkan dalam kisah-kisah penemuan ilmu-ilmu
yang bersifat irrasional sering dilakukan sikap semedi (Jawa = tapa) dan olah nafas yang tidak memerlukan gerakan-gerakan silat. Walaupun
dimasa sekarang ada perguruan yang telah memadukan keduanya artinya
dalam gerakan mengandung tenaga dalam atau tenaga inti. Tetapi untuk
kasus Cimande, penggunaan tenaga dalam menjadi bagian tersendiri yang
berfungsi sebagai penunjang gerakan silat. Itupun tidak dimiliki oleh semua murid Cimande tergantung pada kematangan dan kesiapan sang murid.
Meskipun
keduanya berbeda dalam proses penemuannya, akan tetapi discovery dan
invention memenuhi kriteria sebagai unsur-unsur kebudayaan yang pernah
diketemukan untuk pertama kali dan dipergunakan untuk pertama kali di
dalam masyarakat tertentu (Ibid:). Dari ketiga
versi di atas semuanya mengemukakan bahwa aliran silat (penca) Cimande
ditemukan pertama kali dan dikembangkan oleh Ayah Kahir atau Abah Kohir
atau Embah Kohir atau Mbah Khaer, dan berlangsung pertama kali di Tatar
Sunda atau di Tanah Pasundan dalam hal ini Kampung Tarikolot, Desa Cimande, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.
TTKKDH
Dalam
perkembangan aliran penca Cimande yaitu setelah para murid
menyelesaikan pendidikan di Bogor, mereka kemudian menyebar dan ada yang
kembali ke daerah asal mereka masing-masing. Embah
Buyah salah seorang murid Embah Main (dalam pertalekan berada di posisi
5 dan 6, tentang urutan ini lihat Bab IV) kemudian kembali ke Kampung
Oteng di Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak, selanjutnya melakukan
petualangan ke daerah Lampung Peristiwa ini diperkirakan berlangsung dalam tahun 1948.
Embah
Buya yang orang asli Kabupaten Lebak, sebelum berguru kepada Embah Main
berprofesi sebagai pedagang tembakau yang menjual dagangannya ke
Karawang. Di Karawang Embah Buya kemudian menikah
dengan wanita Karawang bernama Asten yang juga adalah murid Cimande
Mbah Main atau dikalangan warga Cimande (sebutan bagi murid Cimande)
disebut Ibu Asten (wawancara dengan Agus Suganda) atau Embah Dosol
(wawancara dengan Bapak Husin dan Bapak Ahmad Fatoni). Embah Buyah menerima pendidikan penca Cimande dari Embah Main yang mendirikan pusat pelatihan di kebun jeruk beliau di sebelah hilir, dimana Embah Main memiliki 2 buah kebun jeruk satu di girang satunya di hilir. Sebutan girang dan hilir merujuk pada posisi suatu tempat yang berada pada posisi di atas dan di bawah. Jadi kebun jeruk hilir adalah menunjukkan letak kebun tersebut di posisi lebih rendah dari kebun jeruk lainnya.
Embah
Buyah kemudian melanjutkan pengembangan penca Cimande di Lampung dengan
membuka paguron yang menerima murid khusus orang-orang Jawa. Penerimaan
murid dari kalangan orang Jawa dilatarbelakangi suatu kisah seperti
yang dituturkan oleh Agus Suganda bahwa suatu waktu ada orang Melayu
Lampung berniat berguru kepada beliau, ternyata kemudian si orang Melayu
tersebut hanya ingin menguji kemampuan Embah Buyah. Embah
Buyah tidak menyenangi hal itu sehingga beliau kemudian mengusir orang
tersebut bahkan kemudian beliau menyatakan tidak akan mau menerima orang
Melayu yang berasal dari Lampung.
Paguron Cimande Embah Buyah di Lampung kemudian diberi nama Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir. Tampaknya
Embah Buyah memberi nama paguronnya didasari tanda bakti beliau kepada
pendiri dan guru penca beliau, dimana pendiri penca Cimande yaitu Embah
Khaer mendapatkan ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai
Cimande, kemudian penamaan Kebon Djeruk Hilir mengadopsi nama tempat
Embah Buyah menerima ilmu penca Cimande dari Embah Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah suatu aturan hukum yang sifatnya mengikat kepada seluruh warga TTKKDH yang disebut pertalekan Cimande (tentang pertalekan ini, lihat Bab IV). Tujuannya
adalah sebagai pengarah tertulis bagi murid sekaligus penjaga nama baik
bagi TTKKDH itu sendiri. Pada tahun 1953, Embah Buyah kembali ke
Kampung Oteng dan mendirikan paguron TTKKDH di sana. Meski tidak diperoleh informasi kapan Embah Buyah meninggal dunia, namun TTKKDH terus berkembang sepeninggal beliau. Murid-muridnya
meneruskan tradisi dan paguron TTKKDH dan sejak ditangani oleh Embah
Ranggawulung nama TTKKDH melekat sampai sekarang pada perguruan silat
Cimande ini.
Sumber
lain memberikan informasi tentang TTKKDH adalah bahwa penamaan Tjimande
Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir mengandung maksud semacam falsafah bagi
setiap warga Cimande. Tjimande mengandung 2 pengertian yaitu kata Tji dalam bahasa Sunda berarti air dan mande
berarti suci. Tari dikonotasikan dengan tanya atau pertanyaan. Kolot
mengandung makna sesepuh atau orang yang dituakan ada juga yang
mengartikan sebagai kata kesti atau membudayakan kebenaran. Kebon adalah suatu lahan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang halal atau bermakna wadah untuk mencapai keselamatan. Djeruk
diartikan sesuai bentuk dan rasanya yaitu bentuk besar berarti manis,
bulat berarti bersatu dalam satu wadah, dan kulitnya yang terasa pahit
diartikan sebagai barang yang tidak bermanfaat. Hilir
mengandung makna harus selalu merendahkan hati tidak sombong dan
mengalah untuk menang, hilir yang berposisi di bawah juga diartikan
sebagai tempat menampung apa saja kemudian disaring dan mengambil yang bermanfaat. Hilirpun juga diartikan penyelesaian masalah dengan musyawarah (Wawancara dengan A. Ridwan, tanggal 11 Juli 2002). Dari
uraian di atas, maka Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir secara luas
mempunyai pengertian : Dalam kehidupan selalulah berusaha mendapatkan
sesuatu dari pekerjaan yang halal, dan jika menghadapi suatu masalah
selesaikan dengan musyawarah atau meminta bimbingan kepada sesepuh atau
orang yang mengerti permasalahan tersebut serta seyogyanya untuk selalu
bantu-membantu (gotong royong) dalam melaksanakan kepentingan bersama. Pengertian
di atas menempatkan TTKKDH sebagai alat pemersatu dengan misi utama
(lihat pertalekan Bab IV) menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang merugikan individu maupun masyarakat.
TTKKDH juga memiliki ciri khas lain yaitu adanya prinsip “jika terpegang, kita memegang”. Paguron Cimande lainnya (disebut Cimande Girang) memilki prinsip lain yaitu “bila terpegang menyerang”. Prinsip
TTKKDH lainnya adalah di setiap latihan selalu ada nyala lampu
(pelita), ini dijadikan syarat pelatihan yang juga mengikuti perbuatan
Embah Khaer ketika ia pegi ke tepi sungai Cimande. Oleh karena itu awal latihan Cimande bagi murid baru selalu dimulai pada malam hari terutama Kamis malam.
Jurus-jurus Penca Cimande dan TTKKDH
Dalam
riwayat lahirnya Penca Cimande dikisahkan bahwa Embah Khaer mengadopsi
gerakan tarung dua ekor binatang yaitu Harimau dan Kera. Menurut
penuturan Agus Suganda, pada awal pelatihan atau sebelum terbentuknya
TTKKDH belum ada istilah jurus-jurus Cimande, bahkan paguron resmi
bernama Cimande pun belum ada, yang ada adalah jurus pamacan dan
pamonyet yaitu pengembangan gerakan jurus serang-elak (istilah Agus
Suganda timpa-buang) yang berasal dari tingkah kedua binatang tersebut.
Setelah
terjadi perkembangan yaitu setelah masyarakat menerima penca Cimande
ini, terjadilah persebaran ke seluruh Jawa Barat dan Banten kemudian
menyebar ke seluruh Indonesia. Dari segi teknik,
jurus-jurus Cimande ada yang mengalami perubahan baik berupa penambahan
ataupun perampingan, namun demikian perubahan tersebut tidak sampai
menghilangkan esensi jurus dalam Cimande.
Gending
Raspuzi mengemukakan bahwa secara umum pola dasar Penca Cimande
menggunakan sistem perkelahian jarak jauh, yaitu mengambil jarak
sepanjang langkah kaki dan sejauh ujung tangan dari lawan. Kegunaannya adalah menghindari serangan lawan. Adapun secara garis besar teknik Penca Cimande terdiri dari buang kelid, jurus pepedangan, dan tepak selancar (PR, Loc.Cit). Jurus
buang kelid merupakan kumpulan teknik pertahanan yang dilanjutkan
dengan serangan, maksudnya adalah diharapkan murid dapat menguasai
beberapa teknik yang menjadi dasar pengembangan naluri manusia untuk
membela diri. Pepedangan yaitu latihan penggunaan senjata dengan memakai
sepotong bambu berukuran ±
40 cm atau disesuaikan dengan pemakainya, maksudnya adalah selain untuk
belajar menguasai beragam jenis senjata juga melatih kelincahan kaki
dalam melangkah maupun perubahan posisi kuda-kuda. Adapun tepak selancar adalah aspek seni dalam Penca Cimande yang berupa ibing atau tarian yang diambil dari beberapa jurus buang kelid (Ibid). Adapun maksud tepak
selancar ini adalah bahwa Penca Cimande tidak semata-mata mengajarkan
ilmu bela diri tetapi juga sekaligus memperlihatkan aspek keindahan
suatu seni bela diri melalui pertunjukan tarian Cimande.
Pada
TTKKDH, jurus-jurus Cimande disusun secara berurut dengan jumlah gerak
jurus 19 buah dan 1 jurus tanpa gerak atau “rahasia” atau aya wenangan (Agus Suganda). Diantara kesembilan belas jurus TTKKDH tersebut adalah Kelid Gede, Kelid Leutik, Po Jero, Po Luar, Selut, Timpa Sebelah, Gojrok, Getrak Luhur, Getrak Handap, Kepretan, dan Guntingan. Adapun
jurus ke duapuluh atau jurus rahasia tersebut disebut demikian karena
sifatnya lebih mengarah kepada aspek kerohanian yaitu kematangan seorang
murid Cimande menyebabkan ia mampu mengendalikan diri atau bersifat
seperti padi. Artinya jurus terakhir ini
dikembalikan kepada sang murid sendiri untuk mencapai dan mengolahnya,
sepanjang tidak bertentangan dengan Talek Cimande.
Perkembangan TTKKDH
Sejak didirikan pada tahun 1953, TTKKDH wilayah Kabupaten Lebak terus mengalami perkembangan demikian pesat sampai saat ini. Kemudian
meskipun tidak ada kepastian tentang jumlah muridnya, namun sepanjang
pengamatan penulis baik ketika penulis masih berstatus sebagai tenaga
SP3K di Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak (1995-1997) dan ketika
penelitian ini laksanakan (2002), jumlah murid TTKKDH cenderung
mengalami penambahan. Hal ini terjadi karena TTKKDH memiliki pola perekrutan murid baru yang cukup unik yaitu pada saat acara keceran sering ditampilkan atraksi berupa ibingan atau igelan yaitu pergelaran tarian silat yang diiringi musik tradisional. Dan
meskipun sederhana, alat-alat musik yang terdiri dari gendang,
terompet, dan gong mampu memukau penonton ditambah atraksi tarung silat
yang diperagakan jawara-jawara TTKKDH. Dari kondisi ini kemudian menimbulkan daya tarik bagi penonton yang belum menjadi warga TTKKDH. Agus Suganda menyebutkan setiap bulan ada sekitar 3 sampai 5 orang yang masuk menjadi murid diluar keluarga para jawara TTKKDH. Oleh
karena itu sangatlah sulit untuk mencatat jumlah pasti murid-murid
tersebut, sebab disetiap desa sebagai wilayah ranting TTKKDH di
Kabupaten Lebak selalu ada beberapa keluarga TTKKDH yang artinya selain
orang tuanya, anak-anaknya juga menjadi murid TTKKDH, dan Agus Suganda
menjamin mereka bisa ditampilkan kapan saja. Tampaknya regerasi penurunan ilmu Cimande versi TTKKDH terus berjalan sampai saat ini.
Dalam perkembangannya Cimande yang
dulu diklaim sebagai milik etnis Sunda (Jawa Barat dan Banten) kemudian
menasionalisasikan diri dengan melakukan persebaran ke hampir seluruh
wilayah Indonesia. Mbah Buyah yang menerima
Cimande dari Mbah Main di Karawang melanjutkan pengembangan dengan
mendirikan TTKKDH justru di luar wilayah Jawa Barat dan Banten yaitu di
Lampung yang dikenal sebagai daerah orang-orang Melayu. Lebih
jauh dari itu pencak Cimande tidak hanya berada di Indonesia,
mancanegara juga turut mengembangkannya dengan memakai pelatih-pelatih
dari aliran Cimande Indonesia seperti Perguruan Pajajaran Nasional yang
didirikan oleh Sidik Sakabrata di Belanda atau Perguruan Pencak Silat
Mande Muda yang didirikan oleh Herman Suwanda di Amerika Serikat. ini mengindikasikan bahwa budaya leluhur bangsa Indonesia tersebut diterima berbagai pihak dan berbagai kalangan.
TTKKDH
tidak pernah melakukan promosi khusus untuk menerima murid baru, mereka
para calon murid datang sendiri kemudian diperlihatkan Talek Cimande
dan diberikan pengarahan seperlunya tentang TTKKDH, setelah itu
keputusannya diserahkan kembali kepada mereka apakah tetap mau masuk
menjadi murid atau tidak. Demikian ungkapan Agus Suganda tentang pola perekrutan murid bagi TTKKDH. Biasanya setelah diberikan informasi mereka menyatakan persetujuannya, lanjutnya. Ini
berbeda dengan beberapa perguruan silat lain yang melakukan promosi
secara langsung untuk menerima murid baru, misalnya perguruan Santria
Nusantara (perguruan ini lebih mengarah kepada teknik penyaluran dan
pemanfaatan nafas terutama untuk pengobatan, tetapi dimasukkan sebagai
anggota IPSI) yang secara berkala melakukan promosi melalui berbagai
media. Bagi TTKKDH calon murid tidak perlu dipanggil, mereka akan datang sendiri untuk berlatih setelah persayaratan disetujui. Jadi sifatnya adalah kesiapan calon murid diutamakan sedangkan kesiapan pelatih selalu tersedia. Ini
dimungkinkan sebab pelatihan TTKKDH berlangsung di malam hari dimana
biasanya jawara TTKKDH melakukan aktiftas rutin di siang hari dan pada
malam harinya mereka beristirahat jika sedang tidak berlatih. Apalagi bila tiba malam Jumat (Kamis malam) yang merupakan malam wajib latih bagi murid TTKKDH.
Adapun mengenai jumlah murid TTKKDH sampai dengan tahun 2002, Agus Suganda menyebutnya “sangat sulit dihitung”. Ini
terjadi karena selain tersebar mereka rata-rata terdiri dari kaum
keluarga, meskipun beberapa diantaranya berasal dari lingkungan luar
keluarga. Bukan berarti tidak ada catatan tentang
sang calon murid, sebab sebelum resmi menjadi murid, calon murid
diharuskan mengisi semacam formulir yang sebenarnya adalah biodata. Tujuannya adalah untuk mengetahui data diri murid tersebut. Alasan
penggunaan biodata ini lebih bersifat informal yaitu untuk kebutuhan
sang pelatih sendiri bahwa dia telah mengajar simurid. Bagi sang murid boidata tersebut dapat menjadi bukti bahwa dia juga warga TTKKDH yang mendapat pengajaran dari gurunya tersebut.
Pada
saat ini pusat TTKKDH yang berada di kota Serang telah membuat kartu
anggota mempunyai masa waktu 2 tahun, tetapi belum semua murid TTKKDH
mendapatkan fasilitas tersebut. Penggunaan masa berlaku kartu 2 tahun mengandung maksud bahwa dalam masa tersebut sang murid atau warga TTKKDH belum melanggar Talek Cimande. Juga
menjadi pertimbangan (semacam ikatan waktu meskipun dibuat
selonggar-longgarnya) bagi murid TTKKDH untuk beralih perguruan atau
keluar sama sekali. Namun demikian mengurut dari isi Pertalekan Cimande
sepanjang tidak melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan tetap
menjadi murid TTKKDH sekalipun tidak pernah lagi melakukan latihan.
Dampak yang Ditimbulkan
Aktifitas dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan hukum kausal yaitu sesuatu yang bersebab dan akhirnya berakibat. Demikian pula TTKKDH. Menjadi
murid TTKKDH adalah suatu kebanggaan karena selain memiliki ilmu
beladiri, secara tidak langsung juga menjalin hubungan secara luas dari
berbagai latar belakang. Di sisi lain TTKKDH menjadi wadah pemersatu bagi murid-murinya yang berasal dari beragam identitas dan intensitas.
Dampak lain yang dirasakan adalah terciptanya jiwa mandiri dan berani mempertahankan yang hak. Seorang jawara memang dituntut untuk percaya diri pada kemampuan dari sendiri sebatas kesanggupan yang dimilikinya.
UPACARA DI LINGKUNGAN TTKKDH
Pertalekan TTKKDH
Setiap perguruan silat mempunyai kode etik yaitu semacam hukum perguruan yang wajib dipatuhi oleh para warganya. Kode
etik tersebut sifatnya mengikat dimana pelanggaran terhadap kode etik
ini akan menyebabkan si pelanggar akan terkena sanksi seperti
dikeluarkan dari perguruan, tidak dibenarkan menggunakan atribut
perguruan lagi, bahkan jika sipelanggar ternyata tidak perduli terhadap
hukum perguruannya dimana setelah diberi hukuman masih melakukan
pelanggaran lagi, terkadang sang guru atau murid yang dipercaya terpaksa
turun tangan menyelesaikan masalah dengan cara menantang sipelanggar
adu ilmu dengan tujuan membuatnya jera.
Demikianlah
TTKKDH juga memiliki kode etik atau hukum tersendiri yang disebut Talek
Cimande dan diberlakukan kepada seluruh warga perguruan dimanapun
berada sepanjang masih hidup di dunia dan masih mengakui Talek Cimande
merupakan pengisi dan pengekang hawa nafsu dan sifat-sifat yang dapat
merugikan semua pihak. Ada sebuah pertanyaan tentang pengguanaan kata Cimande pada pertalekan ini yaitu mengapa digunakan kata “Cimande” dan bukan TTKKDH. Beberapa
alasan dapat menjadi jawaban bagi pertanyaan tersebut diantaranya
timbulnya rasa kekaguman maupun tanda bakti kepada asal-usul TTKKDH
sehingga dalam talek ini disebut Cimande. Selain
itu TTKKDH memang merupakan turunan ilmu silat Cimande sebagai dampak
dari perkembangan dan persebaran ilmu silat ini yang dilakukan oleh
murid-muridnya. Penggunaan tersebut juga
sekaligus memperlihatkan sebuah pengakuan bagi TTKKDH yang tetap
mengakui Cimande sebagai induknya dan menjadi identitas secara umum
dalam warga Cimande. Adapun isi pertalekan TTKKDH tersebut adalah sebagai berikut :
Asyhadu Anlaailaha Illallaah, Waasyhadu Anna Muhammadarrasuulullaah
PERTALEKAN SILAT CIMANDE
1. Kedah patuh sareng taat ka Ibu Bapak, ka guru-guru, karatu, khususna Allah S.W.T sareng Rasulullah S.A.W.
2. Kedah sanggup bagai siswa Cimande ngalaksanakeun sholat lima waktu termasuk sunah Nabi.
3. Teu kenging miheulaan, tapi oge teu kenging kapiheulaan.
4. Teu kenging ujub, ria, takabur, atanapi sum’ah.
5. Teu kenging nyela, nyaci-nyaci kana kaulinan batur pencak nu sanes golongan Cimande.
6. Teu kenging bohong, nipu, lecor tina jangji kasaha bae.
7. Teu
kenging ngulinan pamajikan batur, teu aya kacualina, keur sanaos lengoh
(ka istri lengoh) oge anu sifatna ngalanggar tina kahormatan nah eta
teu kenging.
8. Teu kenging nikah ka tilas dulur sapelajaran silat Cimande, upami teu aya musyawarah ti payun.
9. Teu kenging ngalanggar M7, sapartos : Maen, Maling, Minum-minuman, Mangani, Madon, Madat, Mateni.
10. Teu kenging latihan wengi Saptu sareng dintena, wengi Senen sareng dintena.
11. Kedah uninga kana asal usulna anu ngagaduhan silat ieu nyaeta :
1. Embah Khohir 5. Embah Main
2.Hayah Kholiah 6. Embah Buyah di Simpang Martapura
3. Hayah Khursi 7. Embah Ranggawulung (di Tari Kolot Cimande)
4.Embah Endut 8. Embah Rd. H. Ace (di Tari Kolot Cimande)
12. Maksud guna silat Cimande ieu kanggo ngajagi Lima Bagian nyaeta:
1. Jiwa
2. Agama Islam
3. Kaluarga
4. Harta
5. Nagara upami diparyogikeun
13. Silat Cimande ieu pantang mundur sanaos sajungkal beas.
14. Kedah
uninga kawajiban bagi para siswa Silat Cimande diwajibkeun setiap wengi
Jum’at ngayakeun rurujakan (selametan), urutan, tanpa batas, oge upami
tos kenging 7 Jum’at ti ngawitan lebet kedah diayakeun syukuran. Oge perlu kauninga setiap wengi Jum’at dina setiap sasih Mulud wajib dikeceran (dipeureuh) sataun sakali.
15. Perlu
kauninga Silat Cimande ieu teu ngagaduhan peupeuhan, tonjokan, sepakan
sareng sajabina anu sifatna pikeun nganiaya kasasama kacuali Cindekna “Tak akan menyerang tapi bila diserang”.
16. Saparangosna
lebet kana Silat Cimande kedah leres-leres ngajagi nama baik Cimande,
kalayan urang kedahna handap asor, sopan santun ngahadapkeun diri kasaha
bae, keur sanaos urang dihina basa anatapi diciduhan sakali dua kali
mas usap bae nanging upami langkung ti kitu eta penghinaan the ku urang
kedah dihindarkeun sesuai sareng anu tilu bagian dihandap ieu :
1. Hutang kedah enggal mayar
2. Nambut kedah enggal mulangkeun
3. Jangji kedah tepat.
17. Saparantosna lebet kana Silat Cimande kedah leres-leres ngangkeun dulur saibu sabapak. Hal
ieu anu cocok pisan sareng sabda Nabi anu pihartoseunnana kirang
langkung kieu : Karunya kadiri dulur the kedah karunya sapartos kadiri
urang sorangan.
18. Perhatosan : Sanggup atanapi keunteu mentaati Talek anu kasebat diluhur bieu?
19. Sangsi-sangsi :
Upami
salah sahiji anggota pelajar Silat Cimande ngalanggar tina salah
sahijina Talek anu kasebat diluhhur bieu maka Pelatih teu tanggung
jawab.
20. Sakitu pertalekan Silat
Cimande sebagai garis ageungna pamugi diamalkeun sakumaha anu dimaksad
diluhur bieu kalayan Talek anu ieu tos disahkaeun ku para sesepuh Silat
Cimande.
21. Talek ieu disusun tur disebar luaskeun kapara pelajar Silat Cimande di seluruh tanah air.
1. Jawa Barat 7. Tanjung Pinang (Riau)
2. Jawa Tengah 8. Timor Timur
3. Jawa Timur 9. Jambi
4. Sumatera Selatan 10. Padang
5. Kalimantan Barat 11. Sulawesi
6. Kalimantan Tengah
Dari tanggal : 1 Januari 1951
Oleh Abah : Madtaris bin Abdullah Jln. Toplas Cibuah Desa Baros
Kec. Warungggunung Kab. Lebak
Sumber : Arsip Agus Suganda
Terjemahan :
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah
dan Aku bersaksi bahwa Muhammad itu pesuruh Allah
KODE ETIK (IKRAR) SILAT CIMANDE
1. Harus patuh dan taat kepada ibu, bapak, guru-guru, para pemimpin khususnya kepada allah S.W.T dan Rasulullah Muhammad S.A.W.
2. Harus sanggup bagi murid Cimande untuk melaksanakan shalat 5 waktu termasuk sunah-sunah nabi.
3. Tidak boleh mendahului, tetapi juga tidak boleh didahului.
4. Tidak boleh bangga diri, sombong, takabur, ataupun sum’ah.
5. Tidak boleh mencela dan mencaci-maki permainan silat di luar Cimande.
6. Tidak boleh berbohong, menipu, dan ingkar janji kepada siapapun juga.
7. Tidak boleh mengganggu isteri orang, tanpa kecuali termasuk wanita yang telah menyendiri atau yang masih gadis dan segala yang sifatnya melanggar kehormatan wanita.
8. Tidak boleh menikahi bekas isteri seperguruan silat Cimande, apabila tidak ada musyawarah sebelumnya.
9. Tidak
boleh melanggar M7, seperti : main judi, mencuri, mabuk-mabukan,
memakan hak orang lain, main perempuan tanpa hak, mengisap ganja
(narkoba), dan membunuh manusia.
10. Tidak boleh latihan pada Jumat malam dan hari sabtu, Minggu malam dan hari Senin.
11. Harus ingat kepada leluhur yang merintis dan menciptakan silat ini yaitu :
1. Embah Khohir 5. Embah Main
2.Hayah Kholiah 6. Embah Buyah di Simpang Martapura
3. Hayah Khursi 7. Embah Ranggawulung (di Tari Kolot Cimande)
4.Embah Endut 8. Embah Rd. H. Ace (di Tari Kolot Cimande)
12. Maksud kegunaan silat Cimande adalah untuk menjaga 5 bagian yaitu :
1. Jiwa
2. Agama
3. Keluarga
4. Harta
5. Negara bila diperlukan
13 Silat Cimande ini pantang mundur walaupun sejarah sebutir beras.
14. Harus
ingat kewajiban bagi seluruh siswa Cimande yaitu bahwa setiap malam
Jumat (Kamis malam) diwajibkan melaksanakan acara selamatan dan urutan
(mengurut kedua lengan) tanpa batas waktu. Juga apabila telah sampai 7 Jumat sejak dari awal menjadi warga Cimande, harus melaksanakan acara syukuran. Juga perlu diperhatikan setiap malam Jumat dalam bulan Maulud (bulan Rabiul Awwal) wajib di peureuh diteteskan setahun sekali.
15. Perlu
diperhatikan silat Cimande tidak mempunyai pukulan, tinju, tendangan
dan semua yang bersifat dapat menganiaya kepada sesama (manusia),
kecuali berpegang pada prinsip tidak akan menyerang sebelum diserang.
16. Sesudah
menjadi warga silat Cimande harus/wajib menjaga nama baik Cimande,
demikian pula harus bersikap rendah hati, sopan santun bila berhadapan
dengan siapapun, meskipun kita dihina dengan kata-kata bahkan diludahi
sekali-dua kali cukup diusap/dibersihkan saja. Tetapi bila lebih dari itu maka penghinaan tersebut harus ditolak dengan 3 prinsip sebagai berikut :
1. Berhutang harus cepat dilunasi
2. Meminjam harus segera dikembalikan
3. Berjanji harus ditepati.
17. Setelah menjadi warga silat Cimande, benar-benar menganggap warga Cimande lainnya seperti saudara seibu sebapak. Hal
ini sesuai dengan sabda Nabi (Muhammad S.A. W) yang berbunyi “Sayang
dan perhatian kepada saudara seperti sayang dan perhatian kepada diri
sendiri.
18. Perhatian : Sanggup atau tidak mentaati kode etik yang telah disebutkan di atas.
19. Sanksi : Apabila salah seorang anggota melanggar salah satu butir kode etik di atas, maka pelatih tidak bertanggung jawab.
20. Demikian garis besar kode etik silat Cimande iini, semoga diamalkan semua yang tersebut di atas. Kode etik ini telah disahkan oleh para sesepuh silat Cimande.
21. Kode etik ini disusun dan disebarluaskan ke seluruh tanah air, yaitu di ;
1. Jawa Barat 2. Jawa Tengah 3. Jawa Timur
4. Sumatera Selatan 5. Kalimantan Barat 6. Kalimantan Tengah
7. Tanjungpinang 8. Timor Timur 9. Jambi
10. Padang 11. Sulawesi
Dari tanggal : 1 Januari 1951
Oleh Abah : Madtaris bin Abdullah
Jln. Toplas Cibuah Desa Baros
Kec. Warungggunung Kab. Lebak
Analisis Pertalekan
Talek Cimande merupakan pengisi dan pengekang hawa nafsu dan sifat-sifat yang dapat merugikan semua pihak. Hal ini karena penca Cimande bukan bertujuan menguasai dan berkuasa atas manusia lainnya. Kemudian
apabila diperhatikan keseluruhan susunan pertalekan penca Cimande
terdapat 2 unsur yang digabungkan menjadi satu yaitu kewajiban
menjalankan syiar agama Islam, darma bakti kepada perguruan. Di samping itu terdapat 4 bagian yang digabungkan menjadi satu untain yaitu :
1. Berhubungan dengan ajaran Agama Islam yaitu pada nomor urut 1,2,5,6,7,dan 9.
2. Berhubungan dengan ajaran perguruan yaitu pada nomor urut 2,3,8,10,11,12,13,14,15,16,17,dan 18.
3. Berhubungan dengan ketentuan hukum perguruan pada nomor urut 19.
4. Penutup dan ketentuan tambahan masing-masing pada nomor urut 20 dan 21.
Pada poin yang mengandung ajaran suatu agama memperlihatkan indikasi bahwa TTKKDH berafiliasi kepada agama Islam. Pembuka
pertalekan ini yang berupa bacaan dua kalimat syahadat mensyaratkan
bahwa warga TTKKDH harus beragama Islam, sebab kedua kalimat syahadat
merupakan tanda bagi seseorang yang memeluk agama tersebut. Ini
kemudian diperkuat dengan poin 1 dan 2 pertalekan Cimande yaitu
kewajiban untuk patuh kepada perintah dan larangan Allah S.W.T, dengan
bercermin kepada perilaku Nabi Muhammad S.A.W. serta menunaikan
kewajiban selaku umat umat Islam yaitu melaksanakan sholat 5 waktu. Dengan demikian TTKKDH mempunyai misi pengembangan ajaran Islam. Oleh
karena itu itu bagi pemeluk agama lain menjadi faktor penghambat untuk
menjadi murid TTKKDH, sekaligus memberi suatu tanda bahwa murid-murid
TTKKDH berlatar belakang agama Islam.
Setiap
perguruan silat juga mengatur sikap dan membentuk kepribadian bagi
murid-muridnya. TTKKDH menjunjung tinggi aturan-aturan sikap hidup
sosial dengan menonjolkan nilai-nilai solidaritas atau azas kebersamaan. Nilai-nilai
solidaritas itu tercermin pada ketentuan dalam pertalekan bahwa warga
TTKKDH dilarang menghina, mengumbar kata dan perbuatan tercela kepada
kepada perguruan-perguruan silat lainnya. Dalam
hal azas kebersamaan TTKKDH mengedepankan sikap jujur dan terbuka guna
menghindarkan diri dari sikap sombong, takabur, dan sikap arogan lainnya
yang cenderung meremehkan orang lain.
Menarik
juga diperhatikan adanya ketentuan dalam TTKKDH yang memuat aturan
bahwa bekas isteri kawan seperguruan tidak dapat dinikahi oleh murid
TTKKDH lainnya apabila sebelumnya tidak ada musyawarah dengan bekas
suaminya. Ini tampaknya mengandung pengertian
bahwa murid-murid TTKKDH tetap memberikan perlindungan kepada bekas
isterinya disamping adanya musyawarah dimaksudkan untuk mengetahui
adakah upaya-upaya dari bekas sang suami untuk merujuk bekas isterinya. TTKKDH
juga meninggikan derajat dan kehormatan kaum wanita baik itu wanita
yang masih berstatus gadis, pernah bersuami maupun yang masih berstatus
bersuami, ketiganya pantang diganggu.
Hal
lain yang menjadi pesan dan hukum bagi warga TTKKDH adalah tidak
diperkenankannya melakukan latihan pada Jumat malam (malam Sabtu) dan
hari Sabtunya serta pada Minggu malam (malam Senin) dan hari Seninnya
dengan ketetapan batas waktu antara saat masuk waktu Maghrib hari Jumat
sampai dengan Maghrib hari Sabtu dan Maghrib hari Minggu sampai Maghrib
hari Senin. Pemberlakuan waktu yang pernah
dialami oleh Mbah Buyah yang nyaris mengalami musibah pada waktu-waktu
tersebut, sehingga kepada murid dan penerus TTKKDH diwajibkan mentaati
ketentuan untuk tidak latihan pada waktu-waktu tersebut.
Dalam
pertalekan terdapat keharusan untuk mengenang para pendiri dan leluhur
Cimande dan TTKKDH termasuk kepada pelatih yang telah meninggal dunia. Dalam
pertalekan tersebut bagi TTKKDH diwajibkan menyebut nama Embah Kohir
sampai Embah Buyah (susunannya lihat pertelekan Cimande) terutama pada
acara keceran dan peureuhan, setelah itu kepada murid-murid lainnya diharuskan menambah nama pelatihnya yang telah meninggal dunia. Tujuannya adalah menaruh rasa hormat kepada para mendiang atas usaha beliau mewariskan Cimande dan TTKKDH kepada murid-muridnya. Oleh karena itu terdapat beberapa perbedaan nama yang disebut oleh murid TTKKDH sesuai dengan siapa pelatihnya.
Upacara dan Kelengkapan
Pelaksanaan
upacara yang berkaitan dengan aktifitas dalam kehidupan manusia
merupakan wujud pengakuan manusia akan keterbatasannya yang ditempuh
melalui ungkapan rasa syukur atau adanya harapan-harapan tertentu dengan cara berdoa. Dalam upacara sering digunakan simbol-simbol tertentu yang disesuaikan dengan latar belakang budaya masyarakat pendukungnya.
Dalam pertalekan Cimande ada 2 ketentuan yang menjadi syarat bagi warga Cimande untuk melakukan upacara. Ketentuan
tersebut tertulis pada poin 11 yang berbunyi : “harus ingat kepada
leluhur yang merintis dan menciptakan silat Cimande”, dan poin 14 yang
berbunyi : “harus ingat kewajiban bagi seluruh siswa Cimande yaitu bahwa
setiap malam Jumat (Kamis malam) diwajibkan melaksanakan acara
selamatan dan urutan (mengurut kedua lengan) tanpa batas waktu. Juga apabila telah sampai 7 Jumat sejak dari awal menjadi warga Cimande, harus melaksanakan acara syukuran. Juga perlu diperhatikan setiap malam Jumat dalam bulan Maulud (bulan Rabiul Awwal) wajib di peureuh diteteskan setahun sekali.
Dengan demikian jelaslah bahwa upacara di lingkungan warga TTKKDH yang disebut keceran menjadi unsur wajib selama yang bersangkutan masih mengaku sebagai murid TTKKDH. Pengertian
murid di sini adalah mereka yang telah menjalani pelatihan penca
Cimande di TTKKDH sekalipun telah berstatus sebagai pelatih. Adapun perlengkapan upacara tersebut terdiri dari:
1. Air dalam wadah berisi 7 jenis kembang
2. Kelapa muda, air dan isinya
3. Selasih
4. Tembakau yang terdiri dari bubuk tembakau, cerutu, sirih, rokok kawung, rokok merek Marchbrand atau Warning. Juga
bisa ditambahkan dengan rokok merek lain yang ada pada saat itu
diantaranya rokok merek Dji Sam Soe, Gudang Garam, Djarum dan
sebagainya.
5. Permen dan roti
6. Rujak pisang
7. Minuman terdiri dari Susu, Kopi manis dan pahit.
8. Aseman berupa perasan air jeruk yang ditambahkan air secukupnya.
9. Nasi tumpeng dan kelengkapannya
10. Minyak
rambut dari jenis jelly kental seperti merek Santalia atau Tancho, yang
berguna untuk melicinkan lengan pada proses pengurutan.
11. Pedupaan yang terdiri dari kemenyan dan kapas. Kapas digunakan untuk menambah asap, sedangkan kemenyan untuk mengharumkan.
Sedangkan bagi calon siswa selain persyaratan di atas juga diharuskan membawa ayam 1 ekor, ayam ini nantinya dipanggang. Agus
Suganda mengemukakan bahwa kesemua perlengkapan upacara tersebut hanya
menjadi syarat untuk mengingat makan dan minuman kesukaan leluhur dan
sesudah upacara dilaksanakan, maka bahan makanan dan minuman dapat
dimakan dan minum bersama. Kemudian untuk tidak
memberatkan maka pengadaan perlengkapan tersebut disesuaikan dengan
kondisi keuangan sang murid/calon murid.
Upacara keceran
harus dilaksanakan pada malam Jumat (Kamis malam) dan tidak dibatasi
tempatnya, biasanya di rumah pelatih atau di rumah murid lainnya.
Upacara ini biasanya dihadiri oleh para murid, beberapa orang pelatih
dan tamu undangan lainnya. Bagi yang mampu dapat juga mengadakan pertunjukan ibingan pada saat keceran
tersebut. Bagi murid baru menjadi kewajiban untuk melaksanakannya
selama 7 malam Jumat berturut-turut tanpa putus, dan bagi murid lainnya
dapat melakukannya sebulan sekali atau semampunya (lebih sering lebih
baik) yang penting harus dilaksanakan pada malam Jumat. Selain keceran juga ada upacara lainnya yang disebut peureuhan yang dilaksanakan setahun sekali.
Setelah perlengkapan upacara tersedia, acara dibuka dengan urutan sebagai berikut :
1. Dimulai dengan doa dan puji-pujian kepada Allah S.W.T dan salawat bagi Nabi Muhammad S.A.W.
2. Sekapur siri dari tuan rumah atau orang yang dituakan.
3. Khadarat mengirimkan doa bagi leluhur dan orang tua masing-masing.
4. Pemberian sambutan yang berisi riwayat TTKKDH dan wejangan atau nasehat lainnya.
5. Tawassul
yaitu mengirimkan amaliah Surah Alfatihah masing-masing kepada para
sahabat Nabi Muhammad S.A.W., para wali Allah, para ulama, keluarga
kesultanan Banten dan para leluhur TTKKDH serta kepada para orang tua
yang telah meninggal dunia.
6. Kiriman Salawat kepada Nabi Muhammad S.A.W.
7. Pembacaan
surah-surah pendek seperti Al Ikhlas, Al Falaq, Annas, Al Fatihah, Al
Baqarah (ayat 1- 10), Ayat Kursi, Ayat-ayat terakhir Surah Al Baqarah,
tambahan ayat lainnya, istigfar, sahadat tauhid (ini dilakukan
berulang-ulang) lalu dilanjutkan dengan 2 kalimat sahadat dan diakhiri
dengan doa.
Sesudah
acara di atas dilaksanakan, dilanjutkan dengan santapan bersama sebagai
wujud rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan. Setelah
beristirahat sejenak dilanjutkan lagi dengan urutan (jika ada murid
baru maka dia didahulukan) yaitu mengurut kedua lengan yang telah
dibalur dengan minyak rambut. Adapun yang
melakukan pengurutan adalah para senior dengan ketentuan sipengurut
harus menguasai bacaan-bacaan tertentu (dirahasiakan) sebelum mengurut. Sementara pengurutan berlangsung, murid lainnya yang menanti giliran diurut melakukan latihan yang disebut buka kelid yaitu latihan tarung berpasangan menggunakan jurus-jurus yang diajarkan. Pada kesempatan ini pula murid baru mulai diajarkan jurus-jurus Cimande oleh pelatih atau seniornya.
Hal
yang paling disenangi oleh murid TTKKDH adalah pengurutan dan latihan
pengembangan jurus, dan bagi murid baru pengurutan memberi kesan
tersendiri semacam “derita kebahagiaan”.
P E N U T U P
Simpulan
Adanya
dua versi tentang sosok pendiri Penca Cimande merupakan kekayaan
interpretasi alam pikiran murid-murid Cimande sebagai wujud kekaguman
dan rasa hormat kepada leluhur yang kemudian diimplementasikan kedalam
pertalekan Cimande. Ayah Kahir, Abah Kahir, Embah Kahir ataupun Embah Khaer adalah satu sosok penemu dan pengembang silat Cimande secara otodidak. Beliau
dapat menjadi salah satu contoh bahwa warga negara Indonesia apabila
diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya akan mampu
mengangkat nama Indonesia sebagai wujud kebangggaan nasional maupun
internasional.
Sebagai sebuah perguruan yang menasionalisasikan
diri (melepaskan diri dari kukungan etnis tertentu), TTKKDH langsung
mendapat simpati dan kemudahan dalam persebarannya dimana ajaran aliran
silat ini yang mengedepankan kejujuran dan kerendahan hati (handap asor) tetapi memiliki kekuatan, sanggup mempersatukan berbagai latar belakang kehidupan sosial masyarakat. Dan
bila pertalekan benar-benar diamalkan, maka beberapa penyakit
masyarakat dapat dicegah seperti penggunaan obat obat terlarang
(narkoba), kejahatan dalam masyarakat (mencuri, mabuk-mabukan, memakan
hak orang lain, main perempuan, dan membunuh) termasuk penyalahgunaan
kekuasaan dan korupsi.
Saran
Sebagai sebuah organisasi sebaiknya TTKKDH melakukan inventarisasi kepada murid-muridnya . Tujuannya
adalah memperoleh data konkrit tentang jumlah murid-murid TTKKDH
diseluruh Indonesia serta mempermudah dalam rangka pembinaan dan
pengawasan apabila dikuatirkan ada unsur-unsur yang mengarah kepada
penyelewengan pertalekan maupun teknik pada jurus-jurus TTKKDH.
Kendala
yang dihadapi berupa kekurangan dana operasional (malah disebutkan
nyaris tidak ada) dapat diantisipasi dengan memberlakukan iuran rutin
yang disesuaikan dengan kemampuan tiap ranting di seluruh Indonesia.
Pemerintah daerah Kabupaten Lebak selaku pembina aktifitas kebudayaan masyarakat sudah
waktunya untuk mengangkat TTKKDH sebagai salah satu aset untuk
peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan gencar melakukan
pagelaran-pagelaran silat untuk tujuan promosi wisata.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Gottschalk, Louis. 1986.
Understanding History : A Primer of Historical Method, atau Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Cet. V. Jakarta : UI-Press.
Harsodjo, 1982.
Pengatar Antropologi. Cet. IV, Bandung : Binacipta.
Kartodirdjo, Sartono. 1984.
Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. dkk., 2000.
Ensiklopedi Sunda. Jakarta : PT. dunia Pustaka,
Satjadibrata, R., 1954.
Kamus Basa Sunda. Jakarta : Perpustakaan Perguruan Kementrian PP dan K.
Sediyawati, Edi. 1995/1996.
Kumpulan Makalah Direktur Jenderal Kebudayaan (1993-1995), Jakarta : Depdikbud.
Shahab, Alwi, 2001.
Robinhood Betawi. Cet .II. Jakarta : Republika.
Tim Penyusun Kamus. 1990.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Surat Kabar
Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 2 Mei 2002. Bandung : PT.Percetakan Offset “Granesia”.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Agus Suganda
Umur : 54 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SLTA
Alamat : Kampung Cilaki, Desa Margajaya Kec. Cimarga Kabupaten Lebak
2. Nama : Ahmad Fathoni
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Tani
Pendidikan : SR
Alamat : Kampung Bojong, Desa Margaluyu, Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak
3. Nama : Husni
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Tani
Pendidikan : SR
Alamat : Kampung Jahe, Desa Margaluyu, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak
4. Nama : A. Ridwan (Bapak Idom)
Umur : 61 tahun
Pekerjaan : Tani
Pendidikan : SRB
Alamat : Kampung Bojong, Desa Margaluyu, Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Cara Berkomentar untuk yang tidak mempunyai akun .
Beri Komentar Sebagai : Name/URL > tulis namamu > lanjutkan > tulis komentar .
Terima Kasih Pengunjung .. Kami Akan Selalu MemPosting Ilmu Yang Bermakna .. ^.^